Asbabu Nuzulil Qur’an

Maha Suci Allah yang telah memuliakan orang-orang mukmin dengan Al-Qur’an dan dengan seorang Rasul pilihan, “Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kalian sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagi kalian. Maka apakah kalian tidak memahami?” (QS. Al-Anbiya’:10). Sehingga dengan Al-Qur’an itu manusia akan terbimbing selamanya menuju jalan yang terang dan lurus, serta mampu menegakkan tatanan kehidupan yang didasari oleh keimanan yang kokoh. Al-Qur’an adalah kitab suci semua umat manusia yang terjamin keotentikannya sepanjang zaman. Karena itu Allah menjadikannya sebagai petunjuk bagi manusia dan bagi semesta Alam. Untuk itu, memahami dan mempelajari Al-Qur’an dengan baik dan tepat merupakan suatu kewajiban setiap muslim, agar terhindar dari pemahaman yang sesat.

Untuk itulah, salah satu yang menjadi dasar dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an adalah dengan mengetahui seluk beluk sebab turunnya Al-Qur’an, atau yang lebih dikenal dengan istilah Asbab an-Nuzul. Karena sebagaimana yang telah ditetapkan oleh para ulama, bahwa Al-Qur’an itu diturunkan dengan dua bagian. Satu bagian diturunkan secara langsung, dan bagian ini merupakan mayoritas isi Al-Qur’an. Dan bagian kedua diturunkan setelah ada satu kejadian atau permintaan, yang turun mengiringi selama turunnya wahyu. Bagian kedua inilah yang dibahas dalam ilmu asbab an-nuzul tersebut. Mengetahui sebab-sebab turunnya ayat Al-Qur’an itu penting, sebab dengan mengetahui seluk-beluk yang melingkupi nash, akan membantu pemahaman dan apa yang dikehendaki dari nash itu.

Memang diakui, bahwa keterangan dan riwayat asbab al-nuzul itu tidak semua dinilai shahih (benar), hal ini sama juga seperti riwayat-riwayat tentang Hadits Nabi SAW. Oleh karena itu, perlu kiranya dilakukan penelitian secara seksama terhadap riwayat-riwayat tentang asbab an-nuzul tersebut, baik tentang sanad-sanadnya maupun matan-matannya. Dengan begitu akan terhindar dari kesalahan pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an itu sendiri.

Melalui makalah sederhana ini, penulis akan membahas tentang Asbab Al-Nuzul ayat-ayat Al-Qur’an ini; mulai dari defenisi, pedoman mengetahuinya, kaedah-kaedah yang berlaku, serta signifikansi memahami asbab an-nuzul tersebut.

A. PENGERTIAN ASBAB AL- NUZUL

Defenisi asbab al-nuzul sebagaimana dikutip yang oleh al-Wahidi dalam Manahil al-‘Urfaan adalah sebagai berikut:

مَا نزلَتِ الآيَة أَوِ اْلآياَت مُتَحَدثةً عَنْهُ أَوْ مُبيّنةً لِحُكْمِهِ أَيَّامَ وُقُوعِهِ.

yaitu suatu ayat atau beberapa ayat yang menceritakan sebab turunnya atau memberikan penjelasan tentang hukum ayat tersebut pada saat terjadinya suatu peristiwa.

Sementara Syaikh Manna’ Al-Qaththan mendefenisikan asbab al-nuzul sebagai “sesuatu yang karenanya Al-Qur’an diturunkan, sebagai penjelas terhadap apa yang terjadi, baik berupa peristiwa maupun pertanyaan”.

Dari kedua defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa asbab al-nuzul merupakan cabang ilmu al-Qur’an yang membahas tentang sebab-sebab turunnya ayat-ayat Al-Qur’an. Namun meski begitu, tidak berarti semua ayat Al-Qur’an diturunkan akibat adanya suatu sebab. Sehingga dalam hal ini, kita dapat membagi kategori turunnya ayat-ayat al-Qur’an tersebut ke dalam dua bagian, yaitu:

1- مَا نزلَ ابْتِدَاءً غَيْرَ مُتَعَلِّقٍ بِحَادِثَةٍ أَوْ سُؤَالٍ] /Turunnya ayat tanpa didahului oleh suatu peristiwa atau tanpa didahului oleh suatu pertanyaan kepada Rasulullah).

Ayat-ayat semacam ini banyak terdapat di dalam Al-Qur’an dan bahkan lebih banyak daripada ayat-ayat hukum yang memiliki asbab al-nuzulnya. Misalnya ayat-ayat yang mengkisahkan hal-ikhwal umat-umat yang terdahulu beserta para Nabinya, atau menerangkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu, atau menceritakan hal-hal yang ghaib yang akan terjadi, atau menggambarkan keadaan hari kiamat beserta nikmat syurga dan siksaan neraka. Dan kalaupun sekiranya ayat-ayat kisah itu dikatakan memiliki asbabun nuzul, maka itu hanya lantaran mempunyai satu motif saja yang bersifat umum, yakni untuk menghibur Nabi Muhammad SAW; atau untuk menguatkan hatinya dalam menghadapi tantangan-tantangan keras dalam berdakwah terutama yang datang dari kaumnya sendiri (kaum Quraisy); atau semata-mata untuk memberi petunjuk kepada manusia agar menempuh jalan lurus. Selain itu Allah menjadikan ayat-ayat ini mempunyai hubungan menurut konteks Qur’ani dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya.

Alasan lain tentang adanya ayat-ayat Al-Qur’an yang turun tanpa didahului oleh suatu peristiwa; sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Manna’ Al-Qaththan – adalah karena sebagai ibtida’ (pendahuluan), tentang aqidah iman, kewajiban Islam dan syari’at Allah dalam kehidupan pribadi dan sosial umat manusia.

2- مَا نزلَ عُقْبَ وَاقِعَةٍ أَوْ سُؤَالٍ ; (Turunnya ayat dengan didahului oleh suatu peristiwa atau disebabkan adanya suatu pertanyaan tentang sesuau hal kepada Rasulullah).

Pada umumnya, ayat-ayat yang memiliki asbab al-nuzul adalah ayat-ayat tasyri’iyah atau ayat-ayat hukum, dan sangat jarang dijumpai ayat-ayat hukum yang turun tanpa suatu sebab. Adapun sebab turunnya suatu ayat itu berkisar pada dua hal, yaitu:

a-      Jika terjadi suatu peristiwa, maka turunlah ayat Al-Qur’an mengenai peristiwa itu. Hal itu seperti diriwayatkan dari Ibnu Abbas, “Ketika turun ayat:             وَأَنْذِرْ عَشِيْرَتَكَ اْلأَقْرَبِيْنَ “Dan peringatkanlah kerabat-kerabatmu yang terdekat” (QS. Asy-Syu’ara: 214), Nabi turun dan naik ke bukit Shafa, lalu berseru: “Wahai Kaumku!” Maka mereka berkumpul ke dekat Nabi. Beliau berkata lagi, “Bagaimana pendapatmu bila aku beritahukan kepadamu bahwa di balik gunung ini ada sepasukan berkuda hendak menyerang kalian, percayakah kalian apa yang ku katakan?” Mereka menjawab: “Kami belum pernah melihat engkau berdusta.” Nabi melanjutkan: “Aku memperingatkan kamu sekalian tentang siksa yang pedih.” Ketika itu Abu Lahab (Abdul Uzza bin Abdul Muthalib bin Hasyim) berkata: “Celakalah engkau, apakah engkau mengumpulkan kami hanya untuk urusan ini?” Lalu ia berdiri. Maka turunlah surat ini: “Celakalah kedua tangan Abu Lahab.” (HR. Bukhari dan Muslim).

b-      Bila Rasulullah SAW ditanya tentang sesuatu hal, maka turunlah ayat Al-Qur’an menerangkan hukumnya. Hal itu seperti yang terjadi pada Khaulah binti Tsa’labah dikenakan zihar oleh suaminya, Aus bin Shamit. Lalu ia datang kepada Rasulullah mengadukan hal tersebut. Aisyah berkata, “Maha Suci Allah yang pendengaran-Nya meliputi segalanya. Aku mendengar ucapan Khaulah binti Tsa’labah itu, sekalipun tidak seluruhnya. Ia mengadukan suaminya kepada Rasulullah. Katanya, “Wahai Rasulullah, suamiku telah menghabiska masa mudaku dan sudah beberapa kali aku mengandung anaknya, setalah aku menjadi tua dan aku tidak beranak lagi, ia menjatuhkan zihar kepadaku! Ya Allah sesungguhnya aku mengadu kepada-Mu”. Aisyah berkata, “Tiba-tiba Jibril turun membawa ayat-ayat ini (QS. Al-Mujaadilah), “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan perempuan yang mengadu kepadamu tentang suaminya,”  yakni Aus bin Shamit. (HR. Ibnu Majah dan Ibnu Abi Hatim).


B. CARA-CARA MENGETAHUI ASBAB AL-NUZUL

Untuk mengetahui asbab al-nuzul secara shahih, para ulama berpegang kepada riwayat shahih yang berasal dari Rasulullah SAW atau dari sahabat. Sebab, pemberitaan seorang sahabat mengenai hal ini, bila jelas, berarti bukan pendapatnya, tetapi ia mempunyai hukum marfu’ (disandarkan pada Rasulullah).

Dalam hal mengetahui dan menjelaskan asbab al-nuzul ini, Al-Wahidi menjelaskan:

لاَ يَحِلُّ القَوْل فِى أسْبَاب النُزُول إِلاّ باِلرِّوَاية وَالسِّماَع مِمَّنْ شَاهَدُوا التَّنْزِيْل وَوَقَفُوْا عَلَى اْلأَسْبَاب، وَبَحَثُوْا عَنْ عِلْمِهَا وَجَدُّوْا فىِ الطَّلاَب، وَقَدْ وُرِدَ الشَرْعُ بِاْلوَعِيْد لِلْجَاهِل ذِى العثاَرِ فىِ هذَا العِلْم بِالنَّار.

Maksudnya adalah bahwa tidak boleh berbicara tentang asbab al-nuzul Al Qur’an kecuali berdasarkan pada riwayat dan mendengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya ayat itu, mengetahui sebab-sebab turunnya, dan membahas tentang ilmu asbabun nuzul itu sendiri serta bersungguh-sungguh dalam mencarinya. Dan bagi orang yang menetapkan asbab al-nuzul tanpa landasan ilmu akan diancam dengan neraka.

Inilah metodologi ulama salaf, mereka sangat berhati-hati mengatakan sesuatu mengenai asbabun nuzul tanpa pengetahuan yang jelas. Oleh karena itu yang dapat dijadikan pegangan dalam asbabun nuzul adalah riwayat-riwayat dari sahabat yang bersanad dan secara pasti menunjukkan asababun nuzul tersebut.

Seorang ulama tabi’in dari Bashrah, Muhammad ibn Sirin mengatakan, “Ketika kutanyakan kepada Ubaidah mengenai satu ayat Al-Qur’an, dia menjawab: Bertakwahlah kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar. Orang-orang yang mengetahui mengenai apa Al-Qur’an itu diturunkan telah meninggal.” Ulama lain berkata, bahwa mengetahui asbab al-nuzul merupakan masalah yang dapat diketahui para sahabat lewat berbagai macam kaitan yang melingkupi berbagai macam permasalahan, dan boleh jadi ada di antara mereka yang tidak bisa memastikannya, sehingga dia berkata, “Menurutku ayat ini berkaitan dengan masalah ini dan itu.

Begitulah sikap keberhati-hatian para ulama terdahulu dalam meriwayatkan dan menukil asbab al-nuzul ayat Al Qur’an, maka hal ini menunjukkan bahwa kita harus benar-benar mengetahui asbabun nuzul itu, namun harus tetap berhati-hati dalam menerima riwayat-riwayat asbab al-nuzul tersebut. Hal ini lantaran tidak semua riwayat-riwayat itu bernilai shahih (benar). Untuk itu perlu dilakukan penelitian yang seksama terhadap riwayat yang kita terima; baik tentang sanad-sanadnya, maupun matan-matannya.

Sehubungan dengan mencari kepastian dari keshahihan asbab al-nuzul, Yusuf Al-Qaradhawi memberikan kita peringatan agar selalu berhati-hati dalam melihat asbab al-nuzul yang diriwayatkan dari jalan yang meragukan dan maudhu’. Sebab yang demikian itu sama sekali tidak mempunyai bobot dalam timbangan ilmu. Oleh sebab itu, – katanya – yang bisa dipastikan kebenarannya adalah dengan cara kembali kepada sanad-sanad yang kuat, atau dengan cara menerapkan metode aljarh wat-ta’dil, atau merujuk kepada para imam hadits yang terpercaya dan kembali kepada pendapat mereka yang bisa dipegang, bukan hanya sekedar menerima apa adanya dari siapapun yang menyampaikan kabar.


C. PENGGUNAAN KAEDAH ASBAB AL-NUZUL

Dalam memahami asbab al-nuzul ayat-ayat Al-Qur’an, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai kaedah yang sering berlaku. Hal ini bertujuan untuk mempermudah pemahaman dan penafsiran tentang suatu ayat al Qur’an tersebut diturunkan. Di antara kaedah-kaedah tersebut adalah:

(1) . العِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ ِبخُصُوْصِ السَّبَبِ ; (Yang dijadikan dasar pegangan adalah umumnya suatu lafadz (ayat), bukan karena khususnya suatu sebab turunnya ayat).

Al-Qur’an adalah  kitab untuk semua manusia dan untuk semua kehidupan. Karena itu Allah menjadikannya sebagai petunjuk bagi manusia dan bagi semesta alam. Oleh sebab itu tidak boleh seseorang membatasi lafadz-lafadz Al Qur’an yang bersifat umum hanya karena adanya pengkhususan sebab dari turunnya ayat al-Qur’an itu sendiri, karena hal itu berseberangan dengan keumuman Al-Qur’an, baik tempat maupun waktu.

Maka, agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam memahami ayat Al Qur’an yang disebabkan oleh peristiwa turunnya, para muhaqqiq dari kalangan ulama ushul fiqh merumuskan suatu kaedah: “Pertimbangan harus dengan keumuman lafadz dan bukan dengan kekhususan sebab.

Ada beberapa ayat yang turun dan mempunyai sebab-sebab turunnya, tapi para ulama sepakat untuk membawanya keluar dari sebab-sebab turunnya, seperti turunnya ayat tentang zhihar yang berkaiatan dengan diri Salamah bin Shakhr, atau ayat tentang li’an yang berhubungan dengan keadaan Hilal bin Umayyah, atau ayat tentang hukum qadzaf yang berhubungan dengan tuduhan terhadap diri Aisyah, yang semua ayat-ayat ini juga berlaku untuk selain orang-orang yang bersangkutan tersebut.

Misalnya Az-Zamaksyary – sebagaimana yang dikutip oleh Yusuf Al-Qordhawi – ketika mengomentari surah Al-Humazah menyebutkan: “Bisa saja sebabnya khusus namun ancamannya bersifat umum, agar setiap orang yang melakukan hal yang serupa mencapatkan celaan dan siksaan yang sama pula, sehingga hal itu semacam pemaparan.

Lebih lanjut Al-Qaradhawi memberikan contoh pada surah Al-Baqarah ayat 204:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُعْجِبُكَ قَوْلُهُ فِى اْلحيَوَةِ الدُّنْيَا وَيُشْهِدُ اللهَ عَلَى مَا فِى قَلْبِهِ وَهُوَ أَلَدُّ الْخِصَامِ

Artinya: “Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras.”

Lalu Sa’id bertanya kepada Muhammad bin Ka’ab: “Apakah engkau tahu tentang siapa ayat ini diturunkan?” Muhammad Ka’ab menjawab, “Ayat ini turun berkaitan dengan seseorang kemudian menjadi umum setelah itu.

Meskipun begitu, sebagian ulama ushul fiqh masih berselisih pendapat tentang istilah “asbab al-nuzul yang bersifat khusus dengan ayat yang turun berbentuk umum,” mana yang dapat dijadikan pegangan: apakah ayat yang umum atau sebab yang khusus? Di sini akan penulis kemukakan kedua pendapat tersebut, yakni:

Pertama, jumhur ulama berpendapat bahwa yang menjadikan pegangan adalah lafadz yang umum dan bukan sebab yang khusus. Hukum yang diambil dari lafadz yang umum itu melampau sebab yang khusus. Misalnya ayat li’an yang turun berkenaan dengan tuduhan Hilal bin Umayyah kepada istriya telah berzina dengan Syuraik bin Sahma yang menyebabkan turunnya ayat ke-6 sampai ke 9 dari surah An-Nuur. Jadi hukum yang diambil dari lafadz umum ayat ini (“Dan orang-orang yang menuduh istrinya”) tidak hanya mengenai peristiwa Hilal bin Umayyah, tetapi diterapkan pula pada kasus serupa lainnya tanpa memerlukan dalil lain.

Kedua, Kelompok ulama lain berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah kekhususan sebab, bukan lafadz yang umum. Karena lafadz yang umum itu menunjukkan sebab yang khusus. Oleh karena itu untuk dapat diberlakukan kepada kasus selain yang menjadi sebab turunnya ayat, diperlukan dalil lainnya seperti qiyas dan sebagainya, sehingga pemindahan riwayat sebab yang khusus itu mengandung faedah; dan sebab tersebut sesuai dengan musababnya seperti halnya pertanyaan dengan jawabannya.

Dari kedua pendapat di atas, yang paling kuat dan paling shahih adalah pendapat pertama, karena pendapat ini relevan dengan universalitas hukum-hukum syari’at. Selain itu, pendekatan seperti ini juga digunakan oleh para sahabat dan para mujtahid umat ini. Mereka memberlakukan hukum ayat-ayat yang memiliki sebab-sebab tertentu kepada peristiwa-peristiwa lain yang bukan merupakan sebab turunya ayat-ayat tersebut.

(2) .  تَعَدُّدُ السَّبَبِ وَالنَّازِلُ وَاحِدٌ; (Bermacam-macam sebab turunnya sedangkan ayat yang diturunkan hanya satu).

Dalam asbab al-nuzul adakalanya dijumpai beberapa riwayat yang berbeda dalam menjelaskan sebab-sebab turunnya satu ayat Al Qur’an. Maka dalam hal ini para ulama memilih satu di antara sekian banyak riwayat tersebut dengan cara mentarjihkannya dengan cara memilih riwayat yang paling benar dan dapat diterima yang ditempuh dengan ukuran yang ditetapkan dalam ilmu asbabun nuzul.

Lebih lengkap Al-Wahidi menjelaskan bahwa jika terdapat perbedaan asbab al-nuzul untuk satu ayat Al Qur’an, maka ada beberapa hal yang dapat dilakukan, di antaranya:

  1. bahwa jika ditemukan beberapa riwayat asbab al-nuzul, dan di antara riwayat-riwayat yang berbeda itu pasti ada satu riwayat yang paling shahih, maka untuk itu hendaklah dilakukan tarjih dan berpegang pada satu yang benar berdasarkan pengetahuan yang diperoleh dari asbab al-nuzul.
  2. bahwa jika ditemukan dua riwayat asbabun nuzul yang kedua-duanya adalah shahih, namun salah satu di antaranya ada yang lebih rajih (unggul), maka hendaklah dipilih yang paling rajah tersebut.[16]
  3. bahwa jika terdapat dua riwayat, di mana kedua-duanya shahih dan sama rajihnya, serta memungkinkan untuk mengambil kedua riwayat tersebut, maka hal ini dapat dibenarkan dan kedua-duanya dapat dijadikan pegangan.
  4. bahwa jika terdapat dua riwayat asbab al- nuzul, di mana kedua-duanya shahih dan sama rajihnya, tapi keduanya tidak mungkin dijadikan pegangan, maka dalam hal ini hendaklah menyebutkan kedua-dua riwayat tersebut, karena ayat bersangkutan dapat dipandang turun setelah terjadinya dua sebab.

Berikut ini akan penulis nukilkan dua (saja) contoh ayat Al-Qur’an yang memilki beberapa riwayat asbab al- nuzul untuk satu ayat yang turun, yaitu:

Contoh 1: Tentang asbab an-nuzul QS. At-Taubah: 113.

Menurut riwayat Imam Bukhari dari Al-Musayyab, bahwa ketika Abu Thalib akan wafat, datanglah Nabi kepadanya. Dan di sampingnya terdapat Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah. Kemudian Nabi bersabda: “Hai paman, katakanlah, Tak ada Tuhan melainkan Allah, aku akan membela engkau dengan ucapan itu (kalimah syahadat) di hadapan Allah. Maka Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah berkata: “Hai Abu Thalib, apakah engkau tidak suka millah Abdul Muthallib?” Maka berkatalah Nabi: “Sungguh aku akan mohonkan ampunan untuk engkau selama aku tidak dilarang untuk itu.” Maka turunlah firman Allah surat At-Taubah ayat 113:

ماَ كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِيْنَ آمَنُوْا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِيْنَ وَلَوْ كَانُوْا أُولِى قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيْمِ

Artinya: “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman untuk meminta ampunan (kepada Allah), bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabatnya, sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang musyrik itu adalah isi neraka Jahiim.

Menurut kronologis kejadian ini, bahwa kejadian meninggalnya Abu Thalib adalah di Makkah, sedangkan surat At-Taubah: 113 ini (sebagaimana disepakati oleh seluruh ulama) diturunkan di Madinah.

Contoh 2: Tentang asbab an-Nuzul QS. Al-Israa’: 85.

Menurut riwayat Al-Bukhari dari Ibnu Mas’ud, katanya: Aku berjalan bersama Nabi di Madinah, ketika itu beliau sedang bersandar di sebatang pohon pelepah kurma. Kemudian lewatlah beberapa orang Yahudi dan di antara mereka berkata: “Alangkah baiknya kalau ada menanyakan sesuatu kepadanya (Nabi)”. Karena itu, merekapun bertanya:  “Hai Muhammad, terangkanlah kepada kami tentang ruh.” Maka Nabi berdiri sejenak mengangkat kepalanya. Maka akupun mengetahui bahwasanya beliau sedang menerima wahyu, hingga naiklah malaikat Jibril. Kemudian Nabi membacakan ayat yang baru diterimanya, yaitu: “Katakanlah ruh itu adalah dari urusan Tuhanku, dan tiadalah diberikan ilmu kepada kamu melainkan hanya sedikit.

Seementara menurut riwayat al-Tarmidzi dari Ibnu Abbas berkata: Orang-orang Quraisy berkata kepada orang-orang Yahudi: “Berilah kepada kami sesuatu yang akan kami tanyakan kepada orang ini (maksudnya kepada Nabi SAW).” Maka orang-orang Yahudi itu berkata: “Tanyakanlah kepada dia tentang hal ruh.” Kemudian mereka bertanya kepada Nabi tentang hal ruh itu, maka Allah menurunkan firman-Nya dalam surah Al-Israa’ ayat 85 itu.

Dalam hal ini, kita menghadapi dua riwayat, yang satu dari Al-Bukhari dan riwayatnya shahih, dan yang satu lagi dari Al-Tirmidzi yang riwayatnya juga shahih. Akan tetapi shahih Al-Bukhari menurut pandangan Jumhur lebih tinggi daripada shahih Al-Tirmidzi. Karena itu riwayat Al-Bukhari lebih dipandang dari segi asbab an nuzul ayat ini. Lagi pula, Ibnu Mas’ud sebagai perawinya menyaksikan sendiri peristiwanya, sedangkan Ibnu Abbas tidak menyaksikan peristiwa tersebut.

(3) . تَعَدُّدُ النَّازِلِ وَالسَّبَبُ وَاحِدٌ ; (bermacam-macam ayat yang turun sedangkan sebabnya hanya satu).

Dalam asbab al-nuzul terkadang juga ditemukan banyak ayat yang turun sedangkan sebabnya hanya satu. Dalam hal ini tidak ada masalah yang cukup penting, karena itu banyak ayat yang turun di dalam berbagai surat berkenaan dengan suatu peristiwa. Contohnya ialah apa yang diriwayatkan Said bin Manshur, Abdurrazzaq, At-Tirmidzi, Ibnu Jarir, Ibnul Mundzir, Ibnu Abi Hatim, Ath-Thabarani dan Al-Hakim mengatakan shahih, dari Ummu Salamah, ia berkata:

“Wahai Rasulullah, aku tidak mendengar Allah menyebutkan kaum perempuan sedikitpun mengenai hijrah. Maka Allah menurunkan: “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan; (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain…” (QS. Ali Imran: 195).

Juga hadits yang diriwayatkan Ahmad, An-Nasa’I, Ibnu Jarir, Ibnul Mundzir, Ath-Thabarani dan Ibnu Mardawaih dari Ummu Salamah katanya, “Aku telah bertanya: Wahai Rasulullah, mengapakah kami tidak disebutkan dalam Al Qur’an seperti kaum laki-laki?” Maka pada suatu hari aku dikejutkan dengan seruan Rasulullah di atas mimbar. Beliau membacakan: “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan muslim…. (Sampai akhir ayat QS. Al-Ahzab: 35).

Al-Hakim juga ada meriwayatkan dari Ummu Salamah, ia berkata, “Kaum laki-laki berperang sedang perempuan tidak. Di samping itu kami hanya memperoleh warisan setengah bagian disbanding laki-laki?” Maka Allah menurunkan ayat: “Dan janganlah kami iri hati terhadap apa yang dikaruniakan kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain; karena bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan pula… “ (QS. An-Nisaa’: 32).

Ketiga ayat di atas turun karena satu sebab. Dalam hal ini Az-Zarqani mengatakan bahwa tidak ada masalah mengenai hal ini, karena sebab turunnya ayat bukan menjadi penghalang untuk memperoleh hikmah, petunjuk hukum, serta penjelasan berbagai persoalan yang sangat dibutuhkan umat.

(4) . الأَمْرُ لِلرَّسُولِ أَمْرًا ِللأُمَّةِ ; (perintah yang ditujukan kepada Rasulullah SAW juga perintah yang berlaku untuk umatnya secara prioritas).

Dalam beberapa ayat Al-Qur’an, tak jarang kita menemukan perintah yang memang ditujukan khusus untuk Rasulullah SAW, namun ada beberapa ayat yang khitabnya tetap berlaku umum. Maka dalam hal ini kaedah “perintah yang ditujukan kepada Rasulullah SAW juga perintah yang berlaku untuk umatnya secara prioritas.”

Dalam hal ini, Atabik Luthfi dalam Tafsir Tazkiyah memberikan contoh QS. Ad-Dhuhaa ayat 11, “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu (Muhammad) siarkan.” Perintah untuk menceritakan dan menyebut-nyebut kenikmatan (tahadduts bin ni’mah) pada ayat di atas pertama kali memang ditujukan khusus untuk Rasulullah, namun ayat ini juga tetap berlaku untuk kaum muslimin secara umum.


D. SIGNIFIKASI MEMAHAMI ASBAB AL-NUZUL

Pengetahuan mengenai asbab al-nuzul mempunyai banyak faedah. Al-Imam Ibnu Daqiq Al-Id menyebutkan bahwa menjelaskan sebab turunnya ayat Al-Qur’an merupakan cara yang amat kuat untuk memahami makna-maknanya. Sementara Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Itqan sebagaimana yang dikutip oleh Al-Qaradhawi juga ada mengatakan bahwa mengetahui sebab-sebab turunnya Al-Qur’an membantu pemahaman ayat. Sebab pengetahuan tentang sebab akan menghasilkan pengetahuan tentang akibat.

Maka di sini, penulis akan menyebutkan beberapa faedah mengetahui dan memahami asbab an-nuzul sebagaimana yang disimpulkan oleh Al-Wahidi dalam kitab Asbabu Nuzul Al-Qur’an:

  1. Mengetahui hikmah Allah dalam menetapkan suatu hukum syari’at.
  2. Membantu dalam memahami ayat Al-Qur’an atau menghindari kesulitan dalam memahaminya, terutama menyingkap kesamaran yang tersembunyi dalam ayat-ayat yang tidak dapat ditafsirkan tanpa pengetahuan asbab an-nuzulnya.
  3. Menghindari terjadinya kesalah-pahaman dalam mengambil istinbath hukum dari suatu ayat.
  4. Memberi batasan hukum yang diturunkan dengan sebab yang terjadi, jika hukum itu dinyatakan dalam bentuk umum. Hal ini terutama bagi mereka yang masih berpendapat bahwa “yang menjadi pegangan adalah sebab yang khusus, bukan lafadz yang umum” atau: “Al-Ibratu bi-khususi as-sabab la bi ‘umum al-lafadz.
  5. Mengetahui secara pasti kepada siapa ayat tersebut diturunkan pertama sekali sehingga untuk masa mendatang dapat dijadikan bahan pembelajaran kepada siapapun.
  6. Mempermudah pengingatan dan pemahaman, karena sebagaimana lazimnya bahwa segala peristiwa yang diketahui seluk-beluknya akan mempermudah untuk diingat dan dimengerti daripada yang tidak mengetahui seluk belum peristiwa tersebut.

Demikianlah pentingnya pengetahuan tentang asbab al-nuzul tersebut, sehingga tak mengherankan bila kalangan ulama al-muhaqqiqun sampai mengharamkan seseorang yang berani menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an tanpa mengetahu asbab an-nuzulnya.[25] Dan memang, fakta sejarah menunjukkan bahwa tidak mengetahui sebab turunnya ayat dapat menjerumuskan kita ke dalam kesalahan yang besar dalam memahami Al Qur’an. Berikut ini akan penulis nukilkan beberapa contoh kasus terhadap kesalahan-kesalahan akibat tidak mengetahui asbab an-nuzul ayat Al-Qur’an tersebut:

(a) Kekeliruan Marwan bin Al-Hakam dalam memahami QS. Ali Imran ayat 188.

Firman Allah SWT:

لاَ تَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ يَفْرَحُوْنَ بِمَآ أَتَوْا وَّيُحِبُّوْنَ أَنْ يُحْمَدُوْا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوْا فَلاَ تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِّنَ الْعَذَابِ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ

Artinya: “Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka dipuji dengan perbuatan yang belum mereka kerjakan; janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa; padahal bagi mereka siksaan yang pedih.” (QS. Ali Imran: 188).

Marwan bin Al-Hakam mengira bahwa ayat ini adalah untuk ancaman bagi semua orang mukmin. Kemudian dia memerintahkan kepada penjaga pintunya, “Pergilah hai Rafi’ kepada Ibnu Abbas dan katakan kepadanya: sekiranya setiap orang di antara kita bergembira dengan apa yang telah dikerjakan dan ingin dipuji dengan perbuatan yang belum dikerjakan itu akan disiksa, niscaya kita semua akan disiksa.” Ibnu Abbas berkata: “Mengapa kamu berpendapat demikian mengenai ayat ini? Ayat ini turun berkenaan dengan Ahli Kitab. Kemudian ia membaca ayat (sebelumnya pada QS. Ali Imran 187) “Dan ingatlah, ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi Kitab….” Lalu Ibnu Abbas melanjutkan, “Rasulullah menanyakan kepada mereka tentang sesuatu, tetapi mereka menyembunyikannya, dengan mengalihkan kepada persoalan lain. Itulah yang mereka tunjukkan kepada beliau. Kemudian mereka pergi, mereka menganggap bahwa mereka telah memberitahukan kepada Rasulullah apa yang ditanyakan kepada mereka. Dengan perbuatan itu mereka ingin dipuji oleh Rasul dan mereka bergembira dengan apa yang mereka kerjakan, yaitu menyembunyikan apa yang ditanyakan kepada mereka itu.” (HR. Al-Bukhari wa Muslim).

(b) Kekeliruan Utsman bin Madz’un dan ‘Amr bin Ma’dikariba dalam memahami QS. Al-Maidah ayat 93.

Firman Allah SWT:

لَيْسَ عَلَى الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيْمَا طَمَعُوْا

Artinya: “Dan tiada dosa atas orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan-amalan shaleh terhadap apa yang telah mereka makan.”  (QS. Al-Ma’idah: 93).

Utsman bin Madz’un dan ‘Amr bin Ma’dikariba menyatakan bahwa khamar (minuman keras) itu masih boleh bagi orang mukmin yang beramal shaleh, sesuai petunjuk ayat di atas. Hal ini terjadi karena kedua sahabat itu tidak mengetahui asbab an nuzul dari ayat tersebut. Menurut keterangan Al-Hasan dan ulama lainnya bahwa setelah turun ayat yang mengharamkan khamar (QS. Al-Maidah: 90), maka para sahabat berkata: “Bagaimanakah nasib saudara-saudara kita yang telah mendahului kita (meninggal dunia), padahal mereka pernah minum khamar, dan Allah telah menegaskan bahwa khamar itu najis.” Maka turunlah surat al-Ma’idah ayat 93 ini. Andaikata tidak ada keterangan tentang sebab turunnya ayat ini, pastilah umat Islam sampai kini masih membolehkan minuman keras, karena berpegang pada dzahirnya surat Al-Ma’idah: 93 tersebut.

(c) Kesalah-pahaman dalam memahami QS. Al Baqarah ayat 158.

Firman Allah SWT:

إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَآئِرِ اللهِ، فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا، وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللهَ شَاكِرٌ عَلِيْمٌ

Artinya: “Sesungguhnya Shafa dan Marwa adalah sebagian dari syi’ar Allah. Maka barangsiapa beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya untuk mengerjakan sa’i di antara keduanya. Dan barangsiapa mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan dan Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 158).

Lafadz ayat ini secara tekstual tidak menunjukkan bahwa sa’i itu wajib, sebab “ketiadaan dosa untuk mengerjakannya” itu menunjukkan “kebolehan” bukan “kewajiban.” Sebagian ulama (seperti Ibnu Abbas, Ibnu Az-Zubair, Anas bin Malik, dan Ibnu Sirin) juga berpendapat demikian, karena berpegang pada arti tekstual ayat itu. Aisyah menolak pemahaman Urwah bin az-Zubair seperti itu, dengan menggunakan sebab turunnya ayat tersebut, yaitu para sahabat merasa keberatan bersa’i antara Shafa dan Marwa karena perbuatan itu berasal dari perbuatan jahiliyah. Di Shafa terdapat patung bernama Asaf dan di Marwa terdapat patung bernama Nailah. Keduanya adalah berhala orang-orang jahiliyah. Adalah mereka apabila melakukan bersa’i mengusap kedua berhala itu. Diriwayatkan dari Aisyah bahwa Urwah berkata kepadanya, “Bagaimana pendapatmu mengenai firman Allah: Sesungguhnya Shafa dan Marwa adalah sebagian dari syi’ar Allah…. dst…? – Aku sendiri tidak berpendapat bahwa seseorang itu berdosa bila tidak mengerjakan sa’i itu.!” Aisyah menjawab: “Alangkah buruknya pendapatmu itu, wahai anak saudariku. Sekiranya maksud ayat itu seperti ayat yang engkau takwilkan, niscaya ayat itu berbunyi: – Tidak ada dosa bagi orang yang tidak melakukan sa’i -. Tetapi ayat itu turun karena orang-orang Anshor sebelum masuk Islam, biasa mendatangi berhala Manat yang zhalim itu dan menyembahnya. Orang yang merasa keberatan bersa’i di antara Shafa dan Marwa. Maka Allah menurunkan ayat ini,” kata Aisyah. “Selain itu, Rasulullah juga telah menjelaskan sa’i di antara keduanya. Maka tak seorangpun dapat meninggalkan sa’i di antara keduanya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan lainnya).

Dari beberapa contoh yang penulis kemukakan di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa mengetahui ilmu asbab an-nuzul dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an adalah penting bahkan merupakan suatu keharusan. Hal ini agar tidak terjadi kekeliruan dalam memahami dan mengambil ayat-ayat Al Qur’an, terutama ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan hukum-hukum syari’at.

———


DAFTAR PUSTAKA

Abi Al-Hasan Ali ibn Ahmad ibn Ali Al-Wahidi, Asbabu Nuzul al-Qur’an

Syekh Manna’ Al-Qaththan, Mabahits Fi Ulum il-Qur’an, (terj.) Aunur Rafiq El-Mazni

Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ulumul Qu r’an

Yusuf Al-Qaradhawi, Kaifa Nata’amal Ma’a Al-Qur’an, (terj.) Kathur Suhardi

Lihat: Syaikh Manna’ Al-Qaththan dalam Mabahits Fi Ulum- il-Qur’an

Atabik Luthfi, Tafsir Tazkiyah: Tadabur Ayat-Ayat untuk Pencerahan & Penyucian Hati


One thought on “Asbabu Nuzulil Qur’an

  1. Pingback: ISTANA ILMU

Comments are closed.