Menilai Sebuah Kebaikan

“APAKAH mayat ini baik?” tanya Imam shalat jenazah meyakinkan makmumnya. “Baiikkkk…,” serempak makmum menjawab tanpa perlu dikomandoi. Pertanyaan sang imam ini biasanya diulang sampai tiga kali. Walau terkadang para jamaah sadar betul bahwa si-mayit tidaklah baik-baik amat, tetap saja mereka sepakat mengaku ‘BAIK’.  Ada satu harapan dari ucapan tersebut, yakni doa semoga Tuhan Yang Maha Kuasa berkenan menerima sang mayit dengan cara yang baik dan ditempatkan di tempat yang baik pula.

Banyak alasan untuk menilai seseorang itu baik atau tak baik. Apakah itu lantaran ide cemerlangnya, atau karya-karya spektakulernya, atau malah lantaran tingkah fenomenalnya. Apapun itu, setiap orang sah-sah saja memutuskan suatu penilaian, walaupun kadang terkesan sangat subjektif dan tidak masuk akal oleh sebagian lainnya.

Adalah Corazon Aquino yang meninggal (Awal Agustus 2009 dulu) dinilai sebagai pemimpin yang baik akibat keberhasilannya memimpin suatu revolusi di Filipina pada 1986. Sementara Ferdinan Marcos yang digulingkan Aquino dicap pemimpin diktator sehingga kematiannya-pun tak usah disesalkan.

Saddam Husein, yang oleh sebagian rakyat Irak memvonisnya sebagai pembunuh berdarah dingin dan dinilai sebagai penguasa dzalim dan tak baik, sehingga kematiannya yang mengenaskan di atas tiang gantung dianggap hal yang pantas dan layak. Sementara Mr. Bush yang mengeksekusinya dianggap berjasa pada dunia, padahal kalau dirunut mereka berdua tidaklah jauh-jauh amat bedanya.

Umar bin Abdul Aziz, sang khalifah Islam pada masa Dinasti Umayyah dinilai sebagai pemimpin ideal nan bijaksana. Pola dan corak kepemimpinannya pantas ditiru oleh semua pemimpin di dunia. Tapi ia harus meregang nyawa akibat racun yang disungguhkan oleh rakyatnya sendiri yang membenci dirinya.

Dulu di negeri ini, sesaat Mbah Surip meninggal dunia, para penggemar dan orang-orang dekatnya menilai beliau sosok yang baik dan pantas dikagumi. Kematiannya di usia 60 tahun pada selasa (4/8)/2009 lalu) sempat mengejutkan banyak orang. Tak tanggung-tanggung, Presiden SBY kala itu juga turut mengucapkan belasungkawa atas kepergiannya. SBY menilai Mbah Surip adalah seniman yang hidup dengan sederhana dan mencurahkan hidupnya dalam berkesenian sesuai caranya sendiri. “Mbah Surip bisa memberikan pelajaran berharga dalam semangat menekuni bidang tertentu seperti bidang kesenian“, begitu kata SBY di halaman kompleks Istananya. Dan hingga artikel ini ditulis (Rabu, 5 Agustus 2009 di Politikana, sampai hari ini), saya belum menemukan ada orang yang berkata lain.

Banyak lagi tokoh-tokoh dunia yang menjadi harum namanya sepanjang masa atau malah menjadi hina-dina akibat sebuah penilaian yang diberikan oleh orang-orang di zamannya. Terkadang penilaian itu tulus, terkadang juga tidak!!

Ya, begitulah… Gajah mati meninggalkan gading. Harimau mati meninggalkan belang. Manusia mati meninggalkan nama. Sejarah hidup manusia dicatat oleh manusia sendiri, pribadi-pribadi. Kebaikan pastilah berbuah kebaikan. Meskipun hari ini ada yang menilainya tak baik, barangkali saja suatu ketika si penilai itu akan berubah pikiran….

Nah, kalau sudah begitu, masih pantaskah kita menorehkan sejarah kita dengan tinta hitam kelam? Atau relakah kita di saat Imam yang menshalatkan jenazah kita bertanya: “Apakah mayat ini baik?”, sang makmum malah menjawab: “tak baik…”???

……….

One thought on “Menilai Sebuah Kebaikan

  1. Mudah-mudahan tinta emas yang mereka torehkan ketika hidup benar-benar dibarengi niat tulus..sehingga dicatat juga dengan tinta emas oleh malaikat dan Allah Swt……

Comments are closed.